KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga tugas ini dapat diselesaikan dengan baik. Makalah tentang Psikologi Kelompok. Dibuat sebagai tugas semester untuk menambah dan mengisi nilai tugas kami pada akhir semester. Makalah ini disusun berdasarkan informasi dan data yang kami dapat.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, sehingga makalah ini dapat diselesaikan dan dimanfaatkan sebagai sumber informasi.
Kami menyadari atas kekurang sempurnaan makalah ini. Suatu kehormatan apabila para pembaca yang budiman memberi saran dan kritik yang bersifat membangun.
Terima kasih.
Bekasi, Oktober 2010
JURNAL I
KONFLIK ANTAR SUKU DI INDONESIA
1. Yang Diteliti
Konflik antar suku yang terjadi di Indonesia
2. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang memiliki ribuan pulau yang diperkaya juga oleh keanekaragaman kebudayaan. Keanekaragaman yang ada ditandai dengan tampaknya perbedaan suku bangsa atau etnis, budaya,bahasa, dan keyakinan agama. Keanekaragaman yang dimiliki Indonesia menjadi satu dilemma yang cukup menantang sekaligus membanggakan. Pada satu sisi, kekayaan budaya dari berbagai etnis yang ada menjadi kemajemukan budaya yang bernilai tinggi,namun disisi lainnya pluralitas kultural tersebut memiliki potensi sebagai pemicu disintegrasi atau perpecahan bangsa. Pluralitas kultural sering kali menjadi salah satu pemicu munculnya konflik ditengah-tengah masyarakat Indonesia.
Konflik suku bangsa (etnis),agama, ras dan antar golongan (SARA) sebenarnya tidak murni karena hal tersebut dan pada dasarnya berawal dari hal-hal lain, baik karena ekonomi,ketidakadilan sosial, politik, salah paham, dan faktor lainnya. Munculnya konflik pribumi dan non-pribumi diawali dari perbedaan antara etnis setempat dengan etnis pendatang. Hal ini dialami Indonesia sejak masuknya masa kolonial Portugis, Spanyol dan Belanda. Konsep masyarakat majemuk pertama kali diperkenalkan oleh J.S.Furnivall (1948). Furnivall merumuskan konsep masyarakat majemuk yang berasal dari temuan hasil penelitiannya di Indonesia. Menurutnya masyarakat Indonesia terbagi atas tiga lapisan:
1. Bangsa-bangsa Eropa menempati urutan teratas dalam stratifikasi masyarakat.
2. Bangsa-bangsa Asia (Cina, Arab, dan India) berada diurutan berikutnya.
3. Dan lapisan terbawah adalah kaum pribumi
Konsep masyarakat majemuk yang dirumuskan oleh Furnivall tersebut merujuk pada pengertian sebuah masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa adanya pembauran satu sama lain dalam kesatuan politik. Pada masa penelitian Furnivall, konsep masyarakat majemuk diteliti pada masa kolonial Belanda di Indonesia. pembauran yang terjadi sangat sulit sehingga kaum pendatang dalam hal ini kolonial Belanda lebih mendominasi dan lebih berkuasa. Dalam konsep masyarakat majemuk, J.S. Furnival melihat dari studi kasusnya di Indonesia bahwa masyarakat pribumi adalah masyarakat yang tertindas atau pada sistem stratifikasi sosial, merupakan lapisan masyarakat paling bawah. Masyarakat pribumi atau penduduk setempat asli daerah jajahan bangsa kolonial masyarakat yang menjadi lapisan terbawah pada saat itu dikarenakan masyarakat pribumi menjadi subjek dari penindasan bangsa Belanda. Mulai dari saat itu, saat pendatang memasuki daerah Indonesia, masyarakat Indonesia-lah yang disebut pribumi dan sebaliknya para pendatang disebut non-pribumi. J.S.Furnival membedakan bahwa diluar bangsa Indonesia adalah merupakan non-pribumi, yakni bangsa Eropa dan bangsa Asia yang terdapat di Indonesia seperti etnis Tionghoa, etnis India, etnis Arab, dan etnis lainnya yang masuk ke Indonesia. Di samping itu J.S. Furnival juga menggambarkan stratifikasi sosial ke dalam bentuk piramida sebagai berikut :
a. Lapisan atas, orang kulit putih, Belanda yang bekerja di perkebunan dan pemerintahan
b. Lapisan menengah, yaitu kelompok keturunan Asia atau Timur Asing,khususnya etnis Tionghoa yang menguasai perdagangan
c. Lapisan Menengah ke bawah, kaum priyayi, dan pamong praja
d. Lapisan bawah, yaitu rakyat atau penduduk pribumi.
Tampak jelas stratifikasi sosial yang terjadi dimana yang dimaksud masyarakat pribumi dan masyarakat non-pribumi. Hal ini tidak jauh dengan apa yang dimaksud dengan masyarakat pribumi pada masa modern yang pada dasarnya masyarakat pribumi adalah diluar dari etnis-etnis yang ada di Indonesia atau seperti yang dikategorikan diatas. Pada dasarnya istilah pribumi sendiri tidak diketahui lebih pasti kapan munculnya, yang pasti pada masa kolonial Belanda istilah pribumi dan non-pribumi telah akrab disebut pada masyarakat Indonesia pada masa itu. Ditinjau dari segi pengertian kamus Indonesia bahwa pribumi memiliki arti sebagai penghuni asli dari tempat keberadaan yang bersangkutan. Sedangkan non-pribumi berarti yang bukan pribumi atau penduduk asli suatu negara. Dari makna tersebut, pribumi berarti penduduk yang asli (lahir, tumbuh, dan berkembang) berasal dari tempat negara tersebut berada. Dalam hal ini terkait negara Indonesia, anak dari orang tua yang lahir dan berkembang di Indonesia adalah orang pribumi, meskipun sang kakek dan nenek adalah orang asing.
Ditinjau dari sudut pandang masyarakat Indonesia, pribumi didefinisikan sebagai penduduk Indonesia dari salah satu suku asli Indonesia. Sebaliknya yang disebut non-pribumi adalah kebalikan dari makna pribumi dan cenderung diklasifikasikan berdasarkan warna kulit mereka. Contoh dari objek yang dimaksud yaitu etnis Tionghoa, Arab, India, bangsa Eropa dan lain-lain. Penggolongan pribumi dan non-pribumi muncul sebagai akibat adanya perbedaan mendasar (diskriminasi) terutama pada perlakuan oleh penguasa rezim yang sedang berkuasa. Ini hanya terjadi jika rezim yang berkuasa adalah pemerintahan otoriter, penjajah dan kroninya ataupun nasionalisme yang sempit. Contoh, di zaman penjajahan Belanda, Belanda memperlakukan orang di Indonesia berketurunan Belanda akan mendapat pelayanan kelas wahid, sedangkan golongan pengusaha/pedagang mendapat kelas kedua, sedangkan masyarakat umum (penduduk asli) diperlakukan sebagai kelas rendah (“kasta sudra”). Masalah siapa yang pribumi dan non-pribumi selalu dipertanyakan ketika menyangkut etnis, dan ras. Hal tersebut juga menjadi pembatas untuk hak dan kewajiban yang pada akhirnya bertentangan dengan cita-cita luhur bangsa Indonesia seperti yang tersurat dalam Pembukaan UUD 1945. Sadar atau tidak sadar bahwa sebenarnya semua penduduk Indonesia sekarang ini secara antropologis merupakan non-pribumi, dalam arti bukan asli dari Indonesia. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh antropolog senior Universitas Airlangga Surabaya, Dr. Josef Glinka SVD, dalam seminar Man: Past, Present, and Future 2. Seperti yang telah diungkap sebelumnya bahwa konflik muncul karena adanya perbedaan unsur SARA yang otomatis membuat cara pandang yang berbeda terhadap segala sesuatu. Tindakan yang timbul dari konflik tersebut pada akhirnya sampai pada tingkat tinggi, yaitu eksterminasi yang diaplikasikan seperti menghukum tanpa peradilan (lynching), pembunuhan massal yang terorganisasi (pogrom), pembunuhan besar-besaran (massacre) dan pemusnahan terhadap kelompok etnis tertentu (genocide).
Di Indonesia sendiri sendiri contoh dari peristiwa bentuk eksterminasi tersebut mungkin masih dapat di ingat kembali peristiwa Sanggau Ledo, Sambas, Sampit yang dikenal dengan konflik antar etnis Dayak/Melayu dengan Madura, kemudian adanya peristiwa Ambon dan Poso yang berlatar-belakangkan masalah agama dan peristiwa Mei 1998, yakni konflik paling ekstrim di mana konflik politik yang berimbas pada sentimen etnis Tionghoa dan peristiwa tersebut hampir saja menjadi peristiwa genocide ketiga di dunia. Hal ini merupakan perwujudan masyarakat multikultur secara sosiologis dan demografis. Setiap lapisan masyarakat membuat identitas mereka dan pada kondisi tertentu mereka akan menentukan ke dalam ingroup dan outgroup atau dalam arti luasnya menggolongkan bagi mereka siapa pribumi yang berhak atas tempat keberadaan mereka dan siapa non-pribumi sebagai pendatang. Hal ekstrim dalam suatu negara pun dapat terjadi berupa perpecahan atau disintegrasi.
3. Metode yang Digunakan
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah Deskriptif, yaitu analisis masalah dengan pengumpulan data melalui Studi Pustaka (library research) dengan teknik pengumpulan bahan kepustakaan buku-buku, artikel, media massa cetak maupun media massa elektronik serta data-data tertulis yang berkaitan dengan masalah penelitian.
4. Pengujian
Hasil data diuji dengan menggunakan teori dari J.S. Furnival, Roger H. Soltau, Soepomo, Hegelian, Spinoza dan Adam Muller.
5. Hasil
Sebagai bangsa yang multietnis dengan berbagai kebudayaan yang dimiliki, kecenderungan adanya konflik antaretnis dapat menghancurkan cita-cita integritas nasional yang dicita-citakan oleh Indonesia sejak dari awal. Maurice Duverger menyatakan bahwa konflik dan integrasi bukan seharusnya dua kontradiktif di dalam politik, tetapi saling melengkapi satu sama lain. Fungsi negara dan pemerintah dalam menjaga integritas nasional merupakan satu hal yang harus dijalankan oleh pemerintah. Hal ini dapat ditandai dengan jaminan bagi setiap warga negara baik mayoritas maupun minoritas. Disamping itu berdasarkan Undang-Undang RI setiap warga negara telah memberi jaminan namun tidak harus lepas tangan. Misalnya kepada etnis Tionghoa yang merupakan salah satu etnis yang dimiliki Indonesia cenderung masih ragu dalam melaksanakan hak politik mereka. Rendahnya tingkat partisipasi aktif politik mereka disetiap wilayah menjadi bukti. Disamping itu setiap pengurusan bidang administrasi masih ada pemisahan yang dilakukan oleh birokrasi, dalam hal partisiapasi politik masih adanya streotip pribumi dan non-pribumi yang selalu mengenai etnis Tionghoa. Dalam hal ini pemerintah perlu mengkaji kembali cita-cita integrasi nasional yang terdahulu. Masalah seperti ini dapat menjadi pemicu terciptanya disintegrasi nasional.
JURNAL II
PEMBELAJARAN SENI TARI BAGI SISWA TUNA RUNGU
1. Yang Diteliti
Cara guru mengajarkan seni tari kepada siswa tuna rungu.
2. Latar Belakang
Setiap warga negara Indonesia mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan. Kesempatan memperoleh pendidikan itu tidak dibeda-bedakan menurut jenis kelamin, status sosial, letak geografis, agama, dan keadaan fisik dan mental seseorang. Anak berkelainan meskipun dalam jumlah yang sedikit, mempunyai hak yang sama pula untuk memperoleh pendidikan guna meningkatkan pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang sekurang-kurangnya setara dengan lulusan sekolah dasar. Pendidikan anak berkelainan dikelola oleh sekolah-sekolah luar biasa yang disesuaikan dengan jenis kelamin. Pendidikan luar biasa bertujuan untuk membantu peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan mental, agar mampu mengembangkan kemampuannya dalam dunia kerja. Tuna rungu merupakan salah satu dari sekian anak berkelainan yaitu mereka yang kehilangan daya pendengarannya. Akibat kehilangan daya pendengarannya ini, maka anak tuna rungu mengalami kesulitan dan hambatan dalam bersosialisasi di masyarakat. Pendengaran merupakan indera yang dipergunakan oleh anak yang berkembang secara normal untuk mengasimilasi pola-pola komunikasi dari masyarakat sebagai komunitas bahasanya.
Kekurangan dalam indera pendengaran dan ketiadaan pendidikan kompensatoris (pengganti) akan menyebabkan seorang anak yang tumbuh tuli secara bisu, tidak mampu berperan secara independent dalam masyarakat dewasa. Dengan memberikan pendidikan seseorang tuna rungu dapat menguasai keterampilan komunikasi sehingga ia dapat pula berfungsi dengan sukses sebagai individu yang independent atau mandiri. SLB (sekolah luar biasa) Bagaskara Sragen merupakan salah satu sekolah luar biasa bagian B, yang ada di Sragen yang menyelenggarakan pendidikan khusus bagi anak-anak tuna rungu atau tuli. SLB Bagaskara Sragen diperuntukkan untuk anak-anak baik putra maupun putri yang memiliki kelainan atau kecacatan (tuna rungu) dari tingkat sekolah dasar sampai sekolah menengah umum. Program pengajaran di SLB Bagaskara Sragen mengacu pada kurikulum, isi mana materi pembelajarannya tidak jauh berbeda dan diupayakan sama dengan materi pembelajaran di sekolah dasar biasa. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu dimodifikasikan seperti yang menyangkut teknik penyampaian materi pelajaran, serta metode mengajar yang digunakan oleh tenaga pengajar.
Proses belajar mengajar pada anak tuna rungu berbeda dengan kelas anak-anak normal, karena anak cacat (tuna rungu) perlu cara khusus dalam mengajar dan mendidik, biasanya dalam bentuk kelas kecil. Seorang guru hanya berhadapan dengan 4-10 orang anak supaya guru lebih berkonsentrasi dan terarah, sebab anak-anak cacat tuna rungu memerlukan perhatian khusus. Seni tari merupakan salah satu pelajaran yang diberikan dari berbagai pelajaran yang ada di SLB Bagaskara Sragen. Dengan adanya pelajaran seni tari yang diberikan, diharapkan siswa SLB Bagaskara senang dalam pelajaran kesenian dan dapat mendukung pelajaran umum diberikan harus sesuai dengan tingkat kemampuan dan keadaan fisik peserta didik. Dalam pemberian materi ataupun praktik seni tari dipilih tarian yang sederhana atau ragam geraknya tidak terlalu sulit dan banyak pengulangan supaya anak dapat dengan mudah mengingat dan menghafal. Mengingat keterbatasan mental dan fisik tersebut, maka materi yang diberikan pada anak-anak tuna rungu di SLB Bagaskara Sragen cenderung pada tari kreasi sebagai contoh tari Merak, Kelinci, Piring dan tidak menutup kemungkinan sesekali diberikan tari klasik misal Bondan Tani.
Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar seni tari di SLB Bagaskara Sragen bisa berjalan dengan baik, hal ini karena didukung dengan sikap siswa yang sangat antusias dalam belajar, ketertiban dalam mengikuti pelajaran, selain itu juga faktor utama dari guru yang bisa menerapkan metode yang tepat bagi siswa tuna rungu. Wujud kongkret keberhasilan ini adalah mengadakan pentas setiap acara perpisahan dan bila ada kunjungan dari pemerintah yang sifatnya resmi. Keberhasilan dalam pembelajaran tari didukung dengan adanya bakat serta kemauan siswa dalam bidang tari. Kemampuan anak dalam melakukan gerak tari tidak kalah dengan anak-anak normal pada umumnya misalnya: keluwesan, kelincahan, hafalan hanya mereka terhambat dalam pendengaran yaitu iringan tari. Namun demikian Materi seni tari yang proses pembelajaran tari di SLB Bagaskara Sragen adalah berhasil, karena meskipun anak cacat dapat menguasai sebagaimana anak yang normal.
3. Metode Yang Digunakan
Ø Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif artinya prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, ucapan atau lisan dan perilaku yang dapat diamati dan orang-orang atau subyek itu sendiri (Furchan 1992:21).
Ø Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Teknik Observasi
Observasi merupakan pengamatan langsung terhadap objek yang akan diteliti. Observasi diartikan teknik pengumpulan data yang dilakukan secara sistematis dan disengaja melalui pengamatan dan pencatatan terhadap gejala yang diselidik (Hendrarto 1987:76). Teknik observasi merupakan suatu cara untuk mengumpulkan data yang lebih, diperoleh melalui pengamatan dan pencatatan gejala-gejala yang tampak pada objek penelitian, langsung ditempat dimana suatu peristiwa, keadaan dan situasi yang sedang terjadi. Adapun aspek-aspek yang diobservasi dalam penelitian ini adalah: Kondisi fisik SLB BAGASKARA Sragen dan Proses pembelajaran tari bagi anak-anak SLB Bagaskara Sragen. Observasi yang dilakukan untuk mengetahui dan mengamati kegiatan belajar seni tari di lingkungan sekolah dengan menggunakan alat bantu berupa kamera foto dan daftar cek.
Teknik Wawancara
Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti untuk mendapatkan keterangan-keterangan lisan melalui bercakap-cakap dan berhadapan muka dengan orang yang memberikan keterangan pada si peneliti (Mardalis 1999:64). Menurut Moleong (1990:135) wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara yang mengajukan diwawancarai dan yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Pertanyaan dan narasumber Teknik wawancara yang digunakan adalah dengan pembicaraan informal artinya pertanyaan yang diajukan tergantung pada wawancara dengan mempertimbangkan pokok-pokok yang akan dipertanyakan. Wawancara untuk memperoleh informasi dilaksanakan dengan melihat situasi dan kondisi guru-guru serta karyawan SLB Bagaskara Sragen, sehingga hubungan antara pewawancara dengan yang diwawancarai berlangsung biasa dan wajar. Pertanyaan dan jawabannya berjalan seperti pembicaraan biasa dalam kehidupan sehari-hari. Wawancara dilakukan pada kepala sekolah, guru-guru, guru seni tari, staf tata usaha, orang tua/wali murid, dan siswa SLB Bagaskara Sragen. Wawancara yang dilakukan untuk mengungkap permasalahan yang dibahas yang mendalam antara lain :
a. Wawancara pada Kepala Sekolah
Sejarah berdirinya SLB Bagskara Sragen. Jumlah siswa, guru atau karyawan SLB Bagaskara Sragen. fasilitas yang dimiliki sekolah.
b. Wawancara pada guru tari
Kurikulum yang digunakan dalam proses belajar mengajar. Prestasi yang pernah diraih. Sarana dan prasarana yang dimiliki sekolah khususnya dalam bidang tari. Kesulitan atau hambatan dalam pelaksanaan kurikulum pendidikan seni tari bagi siswa tuna rungu. Metode yang banyak digunakan dalam pengajaran seni tari.
c. Wawancara pada guru-guru
Hubungan guru dengan siswa. Hubungan siswa dengan siswa. Kesulitan guru dalam menghadapi siswa tuna rungu. Tata tertip sekolah.
d. Wawancara pada wali murid
Peran serta orang tua terhadap prestasi di bidang seni tari. Daerah asal siswa SLB Bagaskara Sragen.
e. Wawancara pada murid
Hubungan siswa dengan siswa. Senangkah dengan pelajaran tari.
Teknik Dokumentasi
Goba dan Lincholn dalam Moleong (1990: 161) menyatakan bahwa teknik dokumentasi merupakan cara pengumpulan data yang berupa pertanyaan tertulis yang disusun oleh seseorang atau lembaga untuk keperluan pengujian suatu peristiwa seperti sumber tertulis, film,data. Teknik dokumentasi ini dilaksanakan untuk memperoleh data sekunder guna melengkapi data yang belum ada, yang belum diperoleh melalui wawancara dan observasi. Dalam penelitian ini teknik dokumentasi digunakan untuk memperoleh data tentang kegiatan yang berhubungan dengan proses belajar mengajar pendidikan seni tari berupa satuan pelajaran, daftar siswa, kurikulum, daftar nilai, foto kegiatan di SLB Bagaskara Sragen.
4. HASIL
Kecacatan bukanlah suatu halangan untuk meraih prestasi tetapi justru mendorong dan memacu untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Prestasi yang pernah diraih SLB Bagaskara Sragen selama tiga tahun terakhir di bidang olah raga, patut dibanggakan karena mereka tidak kalah dengan anak-anak normal. Setiap lomba mereka tidak mau kalah, olah raga tenis meja yang paling menonjol dan disegani lawan.
Dalam bidang seni Kabupaten Sragen jarang sekali mengadakan lomba, sehingga SLB Bagaskara Sragen tidak memiliki tropi atau piala yang berhubungan dengan seni, walaupun tidak mempunyai tropi atau piala SLB Bagaskara juga pernah diundang untuk mengisi acara pentas tari dalam rangka hari ulang tahun Pramuka di Pendopo Rumah Dinas Bupati dan di gedung Korpri dalam rangka seminar tentang anak-anak Keberhasilan ini tidak semata-mata dari anak-anak tetapi juga berkat dedikasi guru yang membimbing dengan sabar, dukungan orang tua dan sarana dan prasarana yang sangat mendukung.
JURNAL III
A DEPICTION OF RACIAL INFLICTED PAIN
1. Yang Diteliti
Konflik antar etnis yang terjadi di Malaysia dan akibat yang ditimbulkan.
2. Latar Belakang
Malaysia adalah negara baru dengan masyarakat majemuk yang terdiri dari Melayu, Cina, India dan lainnya etnis minoritas. Negara ini mencapai kemerdekaan dari Inggris tahun 1957 setelah kolonialisme seperti banyak negara lain. Sejarah bangsa ini
dibentuk oleh pengalaman dalam satu atau lain cara. Dari tahun 1957 sampai 1969, negara baru dengan kelompok etnis yang beraneka ragam berjuang untuk menempa dirinya menjadi suatu bangsa. Pada tanggal 13, Mei 1969 terjadi Bentrokan berdarah antar ras. Konflik ras ini mengguncang negara dan bekas kiri sosial strain dan budaya konflik dalam hubungan ras yang masih ada sekarang meskipun telah merdeka selama hampir 53 tahun.
Pada tahun 1998, ada bentrokan rasial di Kampung Rawa di Penang. Pada tanggal 24 Maret 1998, dilaporkan dalam New Straits Times bahwa Pemerintah Negara telah memutuskan untuk barisan dari sebuah kuil Hindu di Jalan Kampung Rawa berikut ketegangan di antara penduduk. Pada tanggal 27 Maret 1998, New Straits Times melaporkan Penang Kapolri mengatakan Officer masalah yang bersangkutan kedekatan sebuah kuil Hindu ke masjid di Kampung Rawa Petani jalan.
Pada tahun 2001, negara itu diguncang oleh kerusuhan rasial di Kampung Medan jalan Klang Lama, Kuala Lumpur. Ketika kerusuhan rasial atau konflik pecah, cepat pemerintah memperkenalkan upaya untuk mendorong kesatuan yang lebih baik antara ras. Misalnya, sekarang Malaysia dapat menikmati `Open House 'selama perayaan utama
perayaan seperti Hari Raya Idul Fitri (Idul Fitri), Tahun Baru Imlek, Deepavali dan Natal.
Ini dilakukan dalam skala besar oleh negara-negara yang dipilih berbeda di Malaysia. Perdana Menteri dan menteri kabinetnya berkumpul bersama dengan orang selama
perayaan. Idenya adalah untuk memungkinkan semua ras dari semua lapisan masyarakat untuk merayakan setiap festival. Mahathir Mohamad dalam sambutannya `Membangun Bangsa Malaysia 'di upacara untuk Peluncuran Program pada Sosialisasi, di Pusat Perdagangan Dunia Putra, Kuala Lumpur, pada 1 Agustus 1988, mengatakan: "Kita tidak dapat menyangkal bahwa Malaysia adalah negara multi-ras. Pihak berwenang tidak memiliki niat memusnahkan identitas dari setiap perlombaan. Semua ras bebas untuk mengabadikan
mereka sendiri identitas di, agama bahasa dan budaya ". Baru-baru ini, pemerintah Malaysia memperkenalkan sebuah slogan baru untuk kesatuan etnis disebut 1 Malaysia. Ini adalah satu lagi ide baru untuk Malaysia kontemporer.
Cerita-cerita dianalisis menggunakan Pluralis Konflik Teori Turki. Nyeri digambarkan dalam cerita pendek sebagai contoh terjadinya konflik. Contoh ini adalah:
· Konflik 1 - perjuangan sedang berlangsung dalam masyarakat yang heterogen (kejahatan dan penyimpangan)
· Konflik 2 - Inter-kelompok perjuangan untuk dominasi dalam politik
· Konflik 3 - reaksi negatif dari satu kelompok sebagai hasil dari diprovokasi oleh orang lain kelompok perilaku, makna kultural, dan signifikansi.
3. HASIL
Isu-isu dalam cerita-cerita merupakan konsekuensi dari masalah antar-ras. ras dikenakan untuk mencintai antar-ras, hubungan, perkenalan tetapi hal jantung tidak mudah terwujud. Ketidakpuasan kefanatikan, rasial dan kecurigaan blur upaya untuk menyatukan ras yang berbeda dalam ikatan perkawinan dan orang-orang yang tidak bersalah menderita sangat. Melayu muda berpendidikan merasa konflik saat mereka menonton mereka tidak berpendidikan orang dirampas kehidupan yang lebih baik dan mereka bertekad untuk melihat orang-orang mereka menarik melalui kemiskinan. Mereka menunjukkan rasa iri dan dengki dari ras lain yang banyak manfaat hidup di negeri ini sementara mereka terus menderita dalam kesulitan. Mereka bercita-cita kehidupan setelah lebih baik dan lebih tinggi pendidikan untuk orang Melayu mereka.
Konflik yang dialami oleh etnis kelompok selama tahun-tahun awal kemerdekaan meniup proporsi ketika mereka aspirasi ekonomi dan sosial terus-menerus tidak terpenuhi. Ada banyak kecurigaan dan kebencian rasial yang benar-benar mengarah pada kerusuhan rasial tahun 1969.Pembangunan bangsa dan nasional identitas terus tak terjangkau dan kabur oleh kekacauan di negara baru. The intensitas konflik dirasakan oleh ras mengancam upaya pembangunan bangsa dan pembentukan identitas. Konflik adalah siklus dan mereka terus eksis di kontemporer Malaysia. Jika tanpa pengawasan, bangsa dan pembentukan identitas terbantahkan akan beresiko. konflik dialami oleh orang-orang dalam panci mencair bukti menawarkan suara ras terkait masalah yang menghalangi pembentukan bangsa dan identitas nasional. Ini sakit ditimbulkan rasial harus diperlakukan sesegera mungkin.
JURNAL IV
POPULATION DYNAMICS IN LATIN AMERICA
1. Yang Diteliti
Dinamika populasi yang terjadi di negara-negara Amerika Latin.
2. Latar Belakang
Amerika Latin mengalami ledakan pertumbuhan penduduk di tengah abad ke-20
sebagai dua tren demografi converged: tingkat kelahiran tinggi dan cepat
penurunan tingkat kematian. Dengan pertumbuhan tahunan mencapai 2,8 persen pada 1960-an, populasi Amerika Latin tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan apapun di kawasan dunia lainnya kecuali Afrika. Ini belum pernah terjadi sebelumnya, kecepatan pertumbuhan melambat setelah tahun 1970.
Sementara beberapa negara di Latin Amerika menyambut tambahan populasi penduduk sebagai cara untuk membantu mereka yang berada di daerah pedalaman yang jarang penduduknya, sebagian besar dari pertumbuhan terkonsentrasi di
wilayah perkotaan. Penduduk daerah sedang berubah dari yang sangat pedesaan untuk predominantly perkotaan.
Pada tahun 2000, tiga perempat Latin Amerika tinggal di daerah perkotaan, dengan
pertumbuhan yang paling kuat di antara kota menengah daripada kota tua seperti Buenos Aires, Sao Paulo, dan Kota Meksiko. Penduduk Amerika Latin tiga kali lipat antara tahun 1950 dan 2000, meskipun cepat penurunan tingkat kelahiran. Abad ke-21 akan melihat tingkat kelahiran yang lebih rendah dan pertumbuhan lambat.
Di Amerika Utara Banyak yang tidak menyadari demografis etnis besar dan sosial keanekaragaman Amerika Latin atau dari politik yang berbeda dan struktur ekonomi ditemukan di wilayah. Sementara sebagian besar Amerika Latin berbicara Spanyol, misalnya, Bolivia,Ekuador, Guatemala, Meksiko, dan Buletin ini mengkaji Penduduk
utama demografis tren dalam bahasa Latin Amerika selama paruh kedua abad ke-20 dan menyoroti demografis variasi antara Latin American negara. Buletin juga mempertimbangkan hubungan antara demografi dan sosial ekonomi proses di wilayah tersebut. Buletin berfokus pada 18 negara berbahasa-Spanyol mencoba dari Belahan Barat, ditambah Brazil dan Haiti.
Keragaman Etnis dan Ras di Amerika Latin
Amerika Latin adalah campuran dari berbagai bangsa seperti Eropa, Afrika, dan pribumi atau budaya Amerindian, yang mencerminkan tiga kelompok populasi utama yang telah tinggal di sana selama 500 tahun terakhir. Meskipun budaya yang dominan dan struktur politik terutama Eropa, hanya tiga negara-Argentina, Uruguay, dan Kosta Rika-memiliki pre-dominan populasi Eropa. Di negara-negara Amerika Latin lainnya,populasi adalah campuran dari tiga kelompok asli sering digambarkan seperti istilah sebagai mestizo (campuran Amer-
indian dan keturunan Eropa) dan blasteran (campuran Afrika dan Eropa keturunan).Pengaruh Amerindian tersebar di Amerika Selatan. Jutaan Amerindian berbahasa Quechua hidup di negara-negara Andean Selatan Amerika, terutama di Bolivia, Peru, dan Ekuador. Pada tahun 1975, Peru mengadopsi Quechua sebagai bahasa resmi kedua-
(setelah Spanyol), kesaksian pentingnya lanjutan dari adat budaya. Banyak adat
Bolivia, terutama di sekitar Danau Titi- caca, berbicara Aymara. Timur Andes, Paraguay, atau "tempat air besar" dalam bahasa Guarani. Guarani-Paraguay bahasa kedua digunakan secara luas di antara semua kelas sosial. Populasi
reaksi yang diharapkan dari Kolombia dan Venezuela juga cenderung mestizo, namun dengan besar minoritas keturunan Eropa di kota-kota besar dan sejumlah besar kulit hitam dan mulato di sepanjang pantai. Brasil Amerika Latin terbesar dan negara yang paling banyak penduduknya, melainkan juga salah satu yang paling beragam. Pada zaman kolonial, Portugis membawa sejumlah budak Afrika untuk bekerja pada perkebunan tebu di Brasil timur laut.Brazil-ian negara dari Bahía menjadi jantung budaya Afro-Brasil, di mana Euro-Pean dan Afrika agama dan budaya dicampur. budaya Afrika ini tercermin dalam Bahía's seni, musik, agama, dan makanan. Praktek Candomblé, seorang Afro-Brasil agama, adalah sebagai terlihat sebagai praktek Kristen di wilayah tersebut. Amerika Tengah dan Meksiko juga budaya dan ras yang beragam. Populasi meksiko adalah sebagian besar mestizo, namun
masyarakat adat masih berada didataran tinggi pusat, Yucatán penin-sula, dan di selatan dataran tinggi Chiapas dan Oaxaca. Jutaan orang berbicara salah satu indige 20 atau lebih-
bahasa nous masih dituturkan di seluruh Meksiko. Nahuatl, Maya, Mixtec, Zapotec, dan Tarascan antara paling banyak digunakan di negara berbahasa Amerindian.Nahuatl, yang berbahasa kekaisaran Aztek yang dihancurkan oleh penjajah Spanyol di abad ke-16, masih terdengar sampai hari ini di Meksiko di negara bagian Puebla, Veracruz,Hidalgo, dan Guerrero. Kata Inggris seperti tomat, coklat, alpukat, dan coyote berasal dari Nahuatl. Sejumlah besar berbahasa Maya Meksiko tinggal di semenanjung Yucatán dan dataran tinggi Chiapas di selatan Meksiko dan Guatemala. Guatemala suatu populasi yang didominasi Amerindian, terutama di daerah pedesaan. Di Guatemala Amerindian yang mengadopsi kehidupan gaya perkotaan dan berbicara Spanyol dikenal sebagai ladinos-istilah yang sama digunakan untuk perkotaan Guatemala keturunan Eropa.
Sedangkan definisi ras tidak jelas di Amerika Latin,sebenarnya ada perbedaan ekonomi antara beberapa kelompok. Di Guatemala, 87 persen dari penduduk asli tinggal
di bawah garis kemiskinan pada akhir 1990-an,dibandingkan dengan 66 persen dari total populasi Guatemala. Di Meksiko, 82 persen penduduk pribumi miskin,dibandingkan dengan 23 persen dari populasi seluruhnya. Sebuah studi di Brasil menemukan bahwa
setidaknya seperempat dari kulit hitam, mulato,dan masyarakat adat berada di garis kemiskinan. Sementara hanya 13 persen kulit putih dan 8 persen dari Asia berada di kelompok terendah. Sebaliknya, 59 persen dari Asia dan 28 persen kulit putih di Brazil berada di urutan teratas dalam hal pendapatan.
3. Yang Diujikan
Hasil data diuji berdasarkan riset berupa skala dan tabel pertumbuhan penduduk negara-negara Amerika Latin dari tahun ke tahun.
DAFTAR PUSTAKA
Nama Kelompok :
Bunga Permata Sary
Dhaniar Yenni Astuti
Elridha Nurnaningsih
Giovvani Aditya K.
Nia Tri Yuniarti